Makna Pelestarian Budaya
Berbicara masalah pelestarian
apalagi di kaitkan dalam konteks budaya tampaknya telah memunculkan banyak
persepsi di kalangan para pakar-pakar kebudayaan. Dengan perkataan lain para
pakar kebudayaan banyak memberikan kontribusi menggenai pemaknaan yang
memunculkan iklim deskriminatif bahkan kadangkala kontradiktif mengenai
pelestarian budaya itu sendiri ( Sudhartha, Ardana, Ardika, Geriya, Sukartha,
Medere, 1993 ). Disatu sisi ada yang berpandangan bahwa makna pelestarian
kebudayaan itu dapat dilihat dari segi pemaknaan kata dasarnya dalam kamus
besar bahasa Indonesia ( KBBI,1998; 520 ) yaitu berarti tetap seperti keadaan
semula, tidak berubah, kekal. Hal ini menandakan bahwa pelestarian kebudayan
itu dimaknai “ menjadikan membiarkan tetap tidak berubah, membiarkan tetap
seperti keadaannya semula, mempertahankan kelangsungannya. Dilain sisi menurut
M.J Herskovits berpandangan bahwa setiap kebudayaan tumbuh dan berkembang secara dinamis, sehingga berlandaskan akan
hal ini beliau berpandangan bahwa pelestarian kebudayaan pada hakekatnya
tidaklah menghalang-halangi perubahan termasuk yang di timbulkan oleh
penerimaan unsur-unsur kebudayaan luar, apalagi yang diperlukan dalam upaya
peningkatan harkat serta kualitas hidup bangsa. Asalkan munculnya perubahan
atau unsur-unsur luar itu tidak sampai mengguncangkan atau meruntuhkan kerangka
dasar kehidupan budaya yang telah terpelihara ribuan tahun. Kalau di analogikan
bahwa kerangka dasar ini ibarat sebuah foundasi rumah, manakala foundasi ini
runtuh maka bagimana pun keberadaan rumah tersebut akan ikut runtuh, Maka dari
itu dari itu untuk me4ngantisifasi kerapuhan budaya tersebut diupayakan
keberadaan keangka dasar yang merupakan basic
terbentuknya suatu kebudayaan itu sendiri tidak tersentuh dari
perubahan-perubahan yang terjadi.
Munculnya kontradiksi terhadap
pemaknaan pelestarian budaya ini adalah sesuatu yang sangat wajar, bahkan kedua
perspektif tersebut dapat dibenarkan keberadaannya. Hal ini dapat disadari
bahwa kalau kita berbicara masalah pelestarian dan perubahan bukkanlah sesuatu
hal yang berifat mutlak sekali, dalam arti tidak ada suatu kebudayaan pun yang
bersifat statis atau tidak mengalami perubahan, di kecualikan pada suatu budaya
yang sudah di awetkan atau sudah mati. Kebudayaan apapun bentuknya pasti akan
di dalamnya ada suatu unsur yang berubah dari keadaan aslinya, hal ini di picu
oleh munculnya perkembangan zaman yang menghampiri setiap kebudayaan itu
sendiri. Dan begitu pun sebaliknya jika kebudayaan selalu di hampiri dengan
perubahan atau unsur dinamisasi di dalamnya maka hal itu tidaklah dapat di
pandang sebagai sebuah pelestarian kebudayaan.
Mengingat suatu kebudayaan pasti
akan mengalami suatu perubahan sebagai akibat perkembangan zaman semakin pesat,
maka perlulah dipikirkan mengenai kebudayan itu sendiri, mana yang dari suatu
unsur kebudayaan patut dijaga dan dilestarikan atau di pertahankan, dan mana
unsur dari kebudayaan dapat mengalami perubahan. Namun terjadinya proses
perubahan yang di lakukan terhadap kebudayaan diharapkan tidak sampai dirasakan
sekali bagi masyarakat ( Koentjaraningrat, dalam Sudhartha, 1991: 48 ) Yang
terpenting dalam perubahan ini, eksistensi pendukung kebudayaan (fundamental
budayanya) itu tidak hilang tidak tergoncankan, apabila hal ini hilang maka
akan berimpikasi pada kehilangan pula identitas kultural yang menjadi tulang
pungggung (Soko guru) keberadaan pendukung budaya tersebut.
Berlandaskan pada hal diatas maka
sangat kelirulah jika kita memandang bahwa nilai-nilai suatu kebudayaan itu
tidak dapat disesuaikan dan tidak berubah (Dube, dalam Atal dan
Pairis,1980:94). Maka dari itu jangnlah sekali sekali mengartikan bahwa
peletarian budaya adalah sebagai upaya mempertahankan budaya, tidak dapat
berubah, sesuai dengan keadaan aslinya, tetapi maknailah bahwa pelestarian
budaya mencakup hal-hal yang sangat pokok diantaranya sebagai berikut
(Sudhartha, Ardana, Ardika, Geriya, Sukartha, Medere, 1993):
- Pelestarian budaya lebih di arahkan upaya menjaga semangat atau jiwa kualitas esensi nilai-nilai fundamental Bangsa dari pada wujud fisik/ luar budaya yang lebih terbuka bagi perubahan sesuai selera zaman.
- Pelestarian budaya lebih menitik beratkan peningkatan kesadaran akan pentingnya akar budaya yang dapat dipakai sebagai faundasi agar dapat berdiri kokoh serta tegar didalam menghadapi segala bentuk ancaman kebudayaan sebagai akibat dari kemajuan era globalisasi informasi seperti yang terjadi sekarang ini.
- Pelestarian kebudayaan pada dasarnya tidaklah menghalang-halangi perubahan (termasuk yang di timbulkkan oleh penerimaan unsur-unsur budaya luar) apalagi yang memang diperlukan dalam upaya peningkatan harkat serta kualitas hidup bangsa. Namun yang terpenting dalam hal ini perubahan atau unsur-unsur luar itu tidak sampai mengggoncangkan atau meruntuhkan kerangka dasar kehidupan budaya (Supra struktur)
- Pelestarian budaya menuntut agar selalu mencari atau mengembangkan upaya agar kita tidak lepas dari akar budaya kita yang secara dialektis harus diartikan sebagai upaya untuk mendinamisasikan budaya (unsur-unsur budaya) agar mampu tetap seirama dengan derap kehidupan pendukungnya selalu berubah sebagai akibat imbas perubahan zaman. Hal ini di perkuat oleh alasan yang menyatakan bahwa tanpa upaya dinamisasi budaya itu akan cepat dirasakan sangat usang, ketinggalan zaman, atau tidak menjiwai diri pendukungnya yang selalu bersifat dinamis.
e. Piramida
Budaya Masyarakat Desa Bayung Gede
Bali merupakan suatu kawasan
yang dihuni oleh masyarakat yang secara historis memiliki persamaan nasib dan
latar belakang kebudayaan. Mereka terikat dalam suatu tatanan sosial
kemasyarakatan yang disebut dengan desa adat. Desa adat dipimpin oleh prajuru
desa adat. Kepengurusan desa adat yang berlaku dan dilaksanakan oleh masyarakat
secara fundamental tidak jauh berbeda dengan desa-desa di daerah lain, namun
aspek-aspek dari sistem pelaksanaannya berbeda. Hal ini disebabkan karena
pengaruh dari kemajuan masyarakat itu sendiri maupun pengaruh dari dunia luar
(pariwisata).
Tipe
pemerintahan desa adat yang berlaku pada masyarakat mengikuti pola "lulu
apad" (struktur desa adat) yang didasarkan dari waktu pelaksanaan upacara parebuan (perkawinan). Sistem kepimpinan
desa adat bersifat kembar, dimana pimpinan desa adat dipegang oleh dua orang
jero kubayan, yaitu Jero Kubayan Mucuk dan Jero Kubayan Nyoman. Kedua orang
pemimpin desa adat ini dibantu oleh saih
nembelas dalam menjalankan tata kehidupan adat istiadat desa.
Dilihat
dari tata cara pengangkatannya, saih
nembelas ini didasarkan pada tegak desa adat (lulu apad). Kriteria penempatan orang atau anggota masyarakat dalam
kategori lulu apad ini adalah berdasarkan waktu mereka melaksanakan upacara perebuan (ngaturang bakti ke pura Tri Kahyangan) dan mamitin desa (keluar
dari kategori "sebel urip"). Syarat pengangkatan pimpinan desa adat
ini memiliki beberapa pengecualian, yaitu walaupun secara tegak desa orang atau
anggota masyarakat telah menyandang predikat saih nembelas, bila orang tersebut
memiliki cacad fisik maka pengangkatannya akan dibatalkan dan digantikan oleh
anggota di urutan berikutnya. Posisi pimpinan desa adat ini secara sosiologis
bersifat kolektif. Posisinya sebagai pimpinan desa adat akan digantikan atau
diberhentikan apabila anak terkecil sudah menikah atau istrinya meninggal
dunia. Sebagai imbalan atas jasa dan jabatannya sebagai prajuru adat, kepada
mereka diberikan hak kelola atas tanah laba pura yang diistilahkan dengan
"bukti". Bukti ini akan dicabut kembali apabila mereka telah berhenti
menjabat sebagai saih nembelas, dan akan diberikan kepada mereka yang
menggantikannya.
TINN LAM MEGAWAYS - TI - TITanium Oil Oil Company
BalasHapusTINN micro touch hair trimmer LAM MEGAWAYS. Product ceramic vs titanium flat iron Number: 10001-01-0001. Type: Oil. titanium for sale Type: Oil. Quantity: edc titanium Quantity: titanium razor 1