Sabtu, 16 Juni 2012

Makna Pelestarian Budaya


Makna Pelestarian Budaya
            Berbicara masalah pelestarian apalagi di kaitkan dalam konteks budaya tampaknya telah memunculkan banyak persepsi di kalangan para pakar-pakar kebudayaan. Dengan perkataan lain para pakar kebudayaan banyak memberikan kontribusi menggenai pemaknaan yang memunculkan iklim deskriminatif bahkan kadangkala kontradiktif mengenai pelestarian budaya itu sendiri ( Sudhartha, Ardana, Ardika, Geriya, Sukartha, Medere, 1993 ). Disatu sisi ada yang berpandangan bahwa makna pelestarian kebudayaan itu dapat dilihat dari segi pemaknaan kata dasarnya dalam kamus besar bahasa Indonesia ( KBBI,1998; 520 ) yaitu berarti tetap seperti keadaan semula, tidak berubah, kekal. Hal ini menandakan bahwa pelestarian kebudayan itu dimaknai “ menjadikan membiarkan tetap tidak berubah, membiarkan tetap seperti keadaannya semula, mempertahankan kelangsungannya. Dilain sisi menurut M.J Herskovits berpandangan bahwa setiap kebudayaan tumbuh dan berkembang secara dinamis, sehingga berlandaskan akan hal ini beliau berpandangan bahwa pelestarian kebudayaan pada hakekatnya tidaklah menghalang-halangi perubahan termasuk yang di timbulkan oleh penerimaan unsur-unsur kebudayaan luar, apalagi yang diperlukan dalam upaya peningkatan harkat serta kualitas hidup bangsa. Asalkan munculnya perubahan atau unsur-unsur luar itu tidak sampai mengguncangkan atau meruntuhkan kerangka dasar kehidupan budaya yang telah terpelihara ribuan tahun. Kalau di analogikan bahwa kerangka dasar ini ibarat sebuah foundasi rumah, manakala foundasi ini runtuh maka bagimana pun keberadaan rumah tersebut akan ikut runtuh, Maka dari itu dari itu untuk me4ngantisifasi kerapuhan budaya tersebut diupayakan keberadaan keangka dasar yang merupakan basic terbentuknya suatu kebudayaan itu sendiri tidak tersentuh dari perubahan-perubahan yang terjadi.
            Munculnya kontradiksi terhadap pemaknaan pelestarian budaya ini adalah sesuatu yang sangat wajar, bahkan kedua perspektif tersebut dapat dibenarkan keberadaannya. Hal ini dapat disadari bahwa kalau kita berbicara masalah pelestarian dan perubahan bukkanlah sesuatu hal yang berifat mutlak sekali, dalam arti tidak ada suatu kebudayaan pun yang bersifat statis atau tidak mengalami perubahan, di kecualikan pada suatu budaya yang sudah di awetkan atau sudah mati. Kebudayaan apapun bentuknya pasti akan di dalamnya ada suatu unsur yang berubah dari keadaan aslinya, hal ini di picu oleh munculnya perkembangan zaman yang menghampiri setiap kebudayaan itu sendiri. Dan begitu pun sebaliknya jika kebudayaan selalu di hampiri dengan perubahan atau unsur dinamisasi di dalamnya maka hal itu tidaklah dapat di pandang sebagai sebuah pelestarian kebudayaan.
            Mengingat suatu kebudayaan pasti akan mengalami suatu perubahan sebagai akibat perkembangan zaman semakin pesat, maka perlulah dipikirkan mengenai kebudayan itu sendiri, mana yang dari suatu unsur kebudayaan patut dijaga dan dilestarikan atau di pertahankan, dan mana unsur dari kebudayaan dapat mengalami perubahan. Namun terjadinya proses perubahan yang di lakukan terhadap kebudayaan diharapkan tidak sampai dirasakan sekali bagi masyarakat ( Koentjaraningrat, dalam Sudhartha, 1991: 48 ) Yang terpenting dalam perubahan ini, eksistensi pendukung kebudayaan (fundamental budayanya) itu tidak hilang tidak tergoncankan, apabila hal ini hilang maka akan berimpikasi pada kehilangan pula identitas kultural yang menjadi tulang pungggung (Soko guru) keberadaan pendukung budaya tersebut.
            Berlandaskan pada hal diatas maka sangat kelirulah jika kita memandang bahwa nilai-nilai suatu kebudayaan itu tidak dapat disesuaikan dan tidak berubah (Dube, dalam Atal dan Pairis,1980:94). Maka dari itu jangnlah sekali sekali mengartikan bahwa peletarian budaya adalah sebagai upaya mempertahankan budaya, tidak dapat berubah, sesuai dengan keadaan aslinya, tetapi maknailah bahwa pelestarian budaya mencakup hal-hal yang sangat pokok diantaranya sebagai berikut (Sudhartha, Ardana, Ardika, Geriya, Sukartha, Medere, 1993):
  1. Pelestarian budaya lebih di arahkan upaya menjaga semangat atau jiwa kualitas esensi nilai-nilai fundamental Bangsa dari pada wujud fisik/ luar budaya yang lebih terbuka bagi perubahan sesuai selera zaman.
  2. Pelestarian budaya lebih menitik beratkan peningkatan kesadaran akan pentingnya akar budaya yang dapat dipakai sebagai faundasi agar dapat berdiri kokoh serta tegar didalam menghadapi segala bentuk ancaman kebudayaan sebagai akibat dari kemajuan era globalisasi informasi seperti yang terjadi sekarang ini.
  3. Pelestarian kebudayaan pada dasarnya tidaklah menghalang-halangi perubahan (termasuk yang di timbulkkan oleh penerimaan unsur-unsur budaya luar) apalagi yang memang diperlukan  dalam upaya peningkatan harkat serta kualitas hidup bangsa. Namun yang terpenting dalam hal ini perubahan atau unsur-unsur luar itu tidak sampai mengggoncangkan atau meruntuhkan kerangka dasar kehidupan budaya (Supra struktur)
  4. Pelestarian budaya menuntut agar selalu mencari atau mengembangkan upaya agar kita tidak lepas dari  akar budaya kita yang secara dialektis harus diartikan sebagai upaya untuk mendinamisasikan budaya (unsur-unsur budaya) agar mampu tetap seirama dengan derap kehidupan pendukungnya selalu berubah sebagai akibat imbas perubahan zaman. Hal ini di perkuat oleh alasan yang menyatakan bahwa tanpa upaya dinamisasi budaya itu akan cepat dirasakan sangat usang, ketinggalan zaman, atau tidak menjiwai diri pendukungnya yang selalu bersifat dinamis.
e. Piramida Budaya Masyarakat Desa Bayung Gede
            Bali merupakan suatu kawasan yang dihuni oleh masyarakat yang secara historis memiliki persamaan nasib dan latar belakang kebudayaan. Mereka terikat dalam suatu tatanan sosial kemasyarakatan yang disebut dengan desa adat. Desa adat dipimpin oleh prajuru desa adat. Kepengurusan desa adat yang berlaku dan dilaksanakan oleh masyarakat secara fundamental tidak jauh berbeda dengan desa-desa di daerah lain, namun aspek-aspek dari sistem pelaksanaannya berbeda. Hal ini disebabkan karena pengaruh dari kemajuan masyarakat itu sendiri maupun pengaruh dari dunia luar (pariwisata).
            Tipe pemerintahan desa adat yang berlaku pada masyarakat mengikuti pola "lulu apad" (struktur desa adat) yang didasarkan dari waktu pelaksanaan upacara parebuan (perkawinan). Sistem kepimpinan desa adat bersifat kembar, dimana pimpinan desa adat dipegang oleh dua orang jero kubayan, yaitu Jero Kubayan Mucuk dan Jero Kubayan Nyoman. Kedua orang pemimpin desa adat ini dibantu oleh saih nembelas dalam menjalankan tata kehidupan adat istiadat desa.
            Dilihat dari tata cara pengangkatannya, saih nembelas ini didasarkan pada tegak desa adat (lulu apad). Kriteria penempatan orang atau anggota masyarakat dalam kategori lulu apad ini adalah berdasarkan waktu mereka melaksanakan upacara perebuan (ngaturang bakti ke pura Tri Kahyangan) dan mamitin desa (keluar dari kategori "sebel urip"). Syarat pengangkatan pimpinan desa adat ini memiliki beberapa pengecualian, yaitu walaupun secara tegak desa orang atau anggota masyarakat telah menyandang predikat saih nembelas, bila orang tersebut memiliki cacad fisik maka pengangkatannya akan dibatalkan dan digantikan oleh anggota di urutan berikutnya. Posisi pimpinan desa adat ini secara sosiologis bersifat kolektif. Posisinya sebagai pimpinan desa adat akan digantikan atau diberhentikan apabila anak terkecil sudah menikah atau istrinya meninggal dunia. Sebagai imbalan atas jasa dan jabatannya sebagai prajuru adat, kepada mereka diberikan hak kelola atas tanah laba pura yang diistilahkan dengan "bukti". Bukti ini akan dicabut kembali apabila mereka telah berhenti menjabat sebagai saih nembelas, dan akan diberikan kepada mereka yang menggantikannya.

1 komentar:

  1. TINN LAM MEGAWAYS - TI - TITanium Oil Oil Company
    TINN micro touch hair trimmer LAM MEGAWAYS. Product ceramic vs titanium flat iron Number: 10001-01-0001. Type: Oil. titanium for sale Type: Oil. Quantity: edc titanium Quantity: titanium razor 1

    BalasHapus